Pada tahun 2013 yang lalu, saya mendapat tugas untuk mengunjungi salah satu peserta didik di rumahnya (home visit) karena kebetulan saya menjadi wali kelasnya saat itu. Home visit ini dilakukan karena si peserta didik tidak masuk sekolah tanpa berita selama berhari-hari. Untuk mencapai rumahnya, saya harus berjuang melawan licinnya jalan yang berlumpur lagi berbatu-batu menggunakan sepeda motor. Tidak sebatas itu saja, menerjang derasnya arus sebuah sungai kecil juga harus dilewati baru akan tiba di rumah peserta didik tersebut. Maklum saja, pada saat itu masih musim hujan.
Karena jarak rumah
peserta didik ke sekolah yang cukup jauh, maka sebagai gurupun saya tidak tahu
persis letak rumah peserta didik tersebut. Setelah mendekati Kantor Desa (Balai Desa)
sesuai informasi dari teman-teman sekelasnya, saya lalu mencari tempat bertanya
untuk mengetahui pasti letak rumah yang dituju. Sementara pikiran ini muncul
dalam benak, datanglah seorang laki-laki setengah baya yang diharapkan dapat dijadikan
kompas yang baik buat saya.
S
: Selamat sore om....(begitulah saya menyapa sambil menghentikan sepeda motor)
L
: Ia, selamat!
S
: di mana rumahnya si @#$^^&*^% om?
L : mengapa sepeda motornya berlumpur begini pak? (jawabnya
dalam bahasa Timor/Dawan)
Bahasa percakapan ini harus berubah
seketika menjadi bahasa daerah (Timor/Dawan). Saya baru sadar, ternyata orang
ini tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, tidak sesuai dengan
penampilannya. Singkat ceritera, Beliaupun
mengantar saya ke rumah yang dituju dan percakapan selanjutnya dilakukan dalam
bahasa Timor (dawan).
Sesungguhnya kejadian di
atas mewakili sekian banyak perlakuan yang dialami para guru di sekolah tempat
saya bertugas. Karena dalam kesehariannya, Sebagian besar peserta didik tidak
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapannya. Yang digunakan
justru adalah bahasa daerah yang bagi kami orang Timor merupakan bahasa ibu. Tidak
bermaksud melarang penggunaan bahasa ibu dengan tujuan untuk turut melestarikan
budaya orang Timor. Tetapi untuk mengerti atau memahami sesuatu “materi
pembelajaran” peran bahasa Indonesia sangatlah penting.
Salah satu tujuan
pemerintah menggerakkan Literasi di Indonesia terutama di sekolah-sekolah
adalah untuk meningkatkan pemahaman terhadap sesuatu yang di baca, didengar,
dilihat bahkan dirasakan. Tujuan ini tidak mungkin tercapai apabila berbahasa
Indonesia saja masih sulit dilakukan. Jangankan di rumah, di sekolahpun
penggunaan bahasa daerah masih sering didengar ketika para peserta didik
bercakap-cakap. Bagaimana dengan bahasa Inggris?
Kenyataan di atas sulit
dirubah rasanya jika guru sebagai ujung tombak kemajuan pendidikan di Indonesi tidak
menggerakkan penggunaan bahasa Indonesia bagi peserta didiknya. Mengingat hasil
survei kelas dunia yang dilakukan PISA (Program for International Student
Assessment) rilisan Organisation and Development (OEDC) tahun 2015 yang menempatkan
Indonesia pada urutan 62 dari 70 negara yang disurvei. (Sumber : detiknews. Sabtu, 05 Jan 2019). Ditambah lagi hasil
penelitian dari CCSU yang dilakukan pada Maret 2016 menempatkan kita pada peringkat 60 dari 61
negara yang disurvei. Angka ini tidak berbeda dengan survei yang dilakukan oleh
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) tahun 2019.
Sebentar lagi kita bangsa
Indoensia merayakan hari Sumpah Pemuda dimana salah satu isinya adalah
Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin kita dapat bersatu apabila
sebagian diantara kita tidak dapat menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik? Apalagi
mereka adalah generasi muda kita, penerus cita-cita luhur bangsa Indonesia?
Untuk mendongkrak
posisi kita dari hasil survei di atas dan demi masa depan generasi muda kita,
mari tanamkan pada anak didik kita agar selalu berbahasa Indonesia kapan dan di
mana saja. Salam Literasi!
Wow...sdh sy bc....bagus..mksh ssh ksh inspirasi
BalasHapus🙏 mksh sdh berbagi ilmu🙏
BalasHapusMantaaap pak tulisannya, jd tahu situssi berbahasa di tempat bapak..
BalasHapusterimakasih ibu-ibu hebat atas kunjungannya
BalasHapus